Tak terasa pekan ini sudah
berbarengan dengan hadirnya Bulan Muharram Tahun 1443 H., pada penanggalan
tahun Hijriyah. Lumrah dimana-mana, kalangan muslimin melaksanakan perayaan
keagamaan mereka itu yaitu Muharraman. Ya, bagian dari bentuk
kebebasan untuk menjalankan bagian dari seremoni agamanya.
Tradisi seremoni ini dapat dinilai
sebagai momentum yang sangat penting dan strategis, dalam pandangan
pemberdayaan ummat. Karena dengan seremoni ini, secara serempak, tanpa harus
dipaksa, dan digadang-gadang, masyarakat rela uluran tangan mensukseskan acara
serupa, dengan penuh keikhlasan dan kekompakkan.
Dalam konteks masyarakat yang
beragama, apapun sistem kepercayaan manusia, secara garis besar selalu terbelah
pada kecenderungan menjadi setidaknya pada dua perspektif, cara pandang mereka
terhadap sistem kepercayaannya. Bahwa agama dipandang dalam kacamata rasa dan
logika.
Cara pandang dengan rasa keagamaan
yang kuat, rata-rata melahirkan kelompok masyarakat agama yang taat dan militan.
Militansi mereka teraktualisasi, dalam praktik ketaatan mereka terhadap
ajaran-ajarannya, yang bersifat dogmatis. Ini bagian dari pencernaan rasa atau
emosi mereka terhadap keberagamaannya.
Sementara, kelompok masyarakat
beragama, yang mengutamakan cara pandang logika keagamaan, melahirkan kelompok
keagamaan yang cenderung lebih terbuka, toleran, abangan, dan adaptif. Hal
tersebut, terbentuk dari kecenderungan mereka dalam mengaplikasikan ajaran
keagamaannya dengan “penawaran” berdasarkan logika dan hasil pemikiran mereka.
Kelompok masyarakat beragama ini sangat selaras dan cocok, dalam lingkungan
tradisi-tradisi ilmiah, kajian-kajian dan diskusi terbatas keagamaan.
Dua
kelompok besar masyarakat beragama ini, bukan mutlak berbeda. Dalam hal yang
sangat spesifik, dapat bersatu, padu, berbaur dan solid. Tetapi untuk menjadi
berbaur memerlukan alat perekat dan pembaurnya yang harus tepat dan sesuai.